Kamis, 15 November 2012

DUNIA PEREMPUAN; SEJATINYA PILIHAN


                                                       SEJATINYA PILIHAN
             
                 “Dijodohkan atau memilih sendiri?” tanya akhwat berkerudung ungu. 
                “Saya milih dijodohkan saja. Lebih aman” jawab akhwat berkerudung hijau.
                “Hm...begitukah?”
                “Ya..kalau dijodohkan lebih aman dari penyakit hati. Kalau mencari sendiri khawatir kurang ahsan ...”
                Cxcxcx...
#####
                Imajinatif. Kita sering membayangkan juga mengimpikan mendapatkan seseorang yang bisa menemani – lebih tepatnya membimbing – kita dalam membina rumah tangga kelak. Maunya si dia adalah orang yang pengertian, bertanggung jawab, humoris, cerdas, penyayang, oh ya satu yang terpenting “kepribadiannya solih”. Bahasa idelanya, seorang imam yang bisa menyelamatkan kita dan keluarganya selamat di dunia dan akhirat. Wuih...
                Hal yang manusiawi jika demikian. Apapun kriteria yang kita inginkan hendaknya memiliki standar. Jika yang lain tidak terpenuhi tetapi yang satu ini tidak boleh terlewatkan; iman yang mengukuh di jiwanya. Tak masalah dapat yang pendek asal  pribadinya solih. Tak masalah dapat suku di luar Batak (Hehe..tidak bermaksud  ‘menarsiskan’ suku Batak lho...)asal iman yang kokoh masih di hati, hingga ia bisa jadi penengah diantara perbedaan.Tak masalah yang datang meminang tidak satu profesi asal agamanya bagus. Trus, bagaimana kita mendapatkan mereka?
                Ada lima cara yang bisa kita pilih untuk mendapatkan jodoh sejati, insya Allah. Bukan ala pacaran yang tersaji dimana-mana, di lingkungan rumah, sekolah, kampus, pasar, kantor, tempat rekreasi, di sawah (ada gak ya? hehehe...). Plus gak mengenal waktu, mau pagi, siang, sore, malam bisa ditemukan (sengaja atau tidak sengaja bisa ketemu lho...)
                Cara pertama, mengusulkan kepada orangtua. Dalam sejarah cara ini pernah ditempuh oleh putri Nabi Syu’aib as.
Dua putri nabi Syu’aib terhambat untuk memberi minum domba gembalaannya dari sebuah telaga karena telah dipenuhi oleh laki-laki yang juga mengambil air untuk ternak mereka, sedang keduanya adalah perempuan yang menjaga kehormatan dengan menghindari campur baur tersebut. Melihat mereka yang masih berdiri, Musa as datang memberi petolongan.
Putri nabi Syu’aib mendapati kesan bahwa pribadi Musa as adalah pribadi yang terpuji. Salah satu putri Nabi Syu’aib mengusulkan kepada ayahnya agar nabi Musa bekerja dengan mereka. Nabi Syu’aib mengetahui apa yang tersembunyi dalam perasaan putrinya, sehingga ia menawarkan kepada Musa untuk bekerja selama delapan tahun dengan imbalan menikahi salah satu putrinya. Dan Musa menyetujui perjanjian itu. Kisah ini diabadikan dalam Al-Qur’an Suroh Al-Qhosos ayat 26-28.
                Tidak ada yang tercela dari cara ini. Sebab seorang anak memang mempunyai hak untuk mengajukan siapa calon idamannya tanpa mengesampingkan peran orangtuanya. Tanpa melepaskan tanggung jawab orangtua untuk menyelidiki kualitas pribadi calon suami atau istri yang diajukan oleh anaknya. Dalam mengajukan pilihannya, seorang anak harus memiliki kesamaan pedoman agar tidak terjadi perselisihan. Ketika orangtua dan anak mendapati kesamaan kriteria yang sesuai syariat – agamanya bagus – maka orangtua tidak boleh mempersulit keinginan anaknya untuk menikah.
                Cara yang kedua, memilih sendiri atau menunggu pinangan.
                Ingat kisah Rumaisha binti Milhan, seorang perempuan yang menukar hati dan cintanya dengan Islam sebagai maharnya ketika Tholhah datang meminangnya? Nah, shohabiyah yang satu ini adalah kisah yang bertutur bahwa ia memilih sendiri Tholhah sebagai suaminya dengan syarat Tholhah masuk Islam.
                Lain lagi dengan Abdurrahman ibn Auf. Ia yang memilih sendiri istrinya, tidak dijodohkan atau dicarikan orang lain. Ia berkata kepada Ummu Hakim binti Qarizh, “Maukah kamu menyerahkan urusanmu kepadaku?”
                Ummu Hakim binti Qarizh menjawab, “Baiklah,”
                Ia berkata, “Kalau begitu, kamu saya nikahi”         
“Rasulullah Saw melihat pada Abdurrahman ibn Auf ada bekas warna kekuning-kuningan. Lalu beliau bertanya,  ‘Apa ini?’ Dia menjawab, ‘Sesungguhnya aku telah menikahi seorang wanita dengan mahar emas sebesar biji kurma’. Maka Rasulullah bersabda, ‘Semoga Allah memberkahimu. Adakan walimahan walau dengan seekor kambing”
Rasulullah diberitahu sesudah pernikahannya berlangsung. Rasulullah Saw dan sahabat tidak mencelanya.
Perempuan yang ingin menikah boleh berlaku pasif untuk mendapatkan jodohnya. Menanti pinangan lelaki yang bermaksud datang meminangnya. Seorang perempuan yang menanti pinangan tetaplah bersabar menjaga ketentuan agama tentang laki-laki  baik yang kelak akan menjadi suaminya.
Tidak usah tergesa. Istikhoroh, minta petunjuk dari Yang Maha Pemberi Petunjuk. Selidiki bagaimana agama dan akhlaknya. Tiada lain agar kita, perempuan, tidak terzolimi dalam membina rumah tangga. Sebab, dari pernikahan kita mengharapkan kebaikan dan keberkahan, bukan sebaliknya.
Cara yang ketiga, menerima pilihan dari orangtua.
Dalam sebuah riwayat yang sudah masyhur dalam kitab-kitab munakahat, disebutkan dari Aisyah telah datang seseorang perempuan mengadu kepada Rasulullah, ia berkata,
“Ya Rasulullah, ayah saya telah menikahkan saya dengan keponakannya agar dapat meringankan beban dirinya. Maka beliau menyerahkan urusan ini kepadanya. Lalu perempuan itu berkata, ‘saya benarkan apa yang telah dilakukan ayah saya, tetapi saya ingin agar para perempuan tahu bahwa para bapak tidak berhak sedikitpun dalam urusan ini.”(HR. Ahmad)
Hadis di atas berkisah seorang perempuan yang dinikahkan ayahnya, lalu ia mengadu kepada Rasulullah. Dan Rasulullah menyerahkan urusan itu kepadanya, artinya menyerahkan pilihan apakah menerima atau menolak. Perempuan itu membenarkan apa yang telah dilakukan ayahnya, menerima lelaki pilihan ayahnya menjadi suaminya. Akan tetapi ia memberi sebuah nasihat penting kepada para perempuan bahwa para bapak tidak berhak memaksakan kehendaknya.
Islam membenarkan cara mendapatkan jodoh dengan menerima tawaran dari orangtua. Tidak ada yang salah di dalamnya selama kriteria dan syarat yang sesuai syari’at ada pada lelaki yang ditawarkan orangtua. Daripada menanti kedatangan yang tidak pasti hingga waktu berumah tangga hampir senja. Namun, jika kriteria yang sangat pokok tidak ada padanya – agamanya yang diragukan – kita boleh memberikan hak penolakan.
Cara yang keempat, menerima tawaran dari saudara sesama muslim.
Cara ini sering dilakukan pada masa Rasulullah dan sahabat. Menerima tawaran dari saudara seiman bukanlah hal yang tercela apalagi menghinakan. Bahkan ini menunjukkan adanya solidaritas sesama saudara seiman, merasa bertanggung jawab untuk menolong orang yang sudah mampu dan berkeinginan kuat untuk menikah namun belum bertemu pasangannya. Langkah ini boleh dilakukan dengan persetujuan dari orang yang ditawarkan maupun tanpa sepengetahuannya. Bila tanpa sepengetahuan orang yang ditawarkan maka ia mempunyai hak untuk menerima atau menolak
Dalam sebuah kisah, Usman menawarkan seorang gadis kepada Abdullah ibn Mas’ud. Karena Abdullah ibn Mas’ud tidak memiliki keinginan kepada gadis tersebut, maka Usman memanggil Alqomah dan menawarkannya kepada Alqomah.
Ketika kita ditawarkan akan seorang laki-laki, hendaknya disambut dengan baik. Akan tetapi dengan tidak menafikan penyelidikan atas agama dan akhlaknya. Karena bagaimanapun baiknya orang yang menawarkan, kita masih punya tanggung jawab melihat kualitas pribadi orang yang ditawarkan.
Cara kelima, meminta dicarikan.
Jika sudah menanti, namun yang dinanti tak kunjung datang, tak ada salahnya untuk meminta jasa orang lain yang dapat dipercaya (tsiqoh) mencarikan jodoh buat kita. Bisa saja guru mengaji, saudara atau teman. Tidak perlu malu ataupun sungkan, karena para sahabat saja banyak yang meminta dicarikan oleh Rasulullah jodohnya. Salah satu contohnya Ukaf Wida’ah Al-Hilali.
 Ini tidaklah tercela. Namun, lagi-lagi yang perlu diperhatikan adalah pihak ketiga adalah orang cerdas, teliti dan tsiqoh untuk mencarikan orang yang sesuai dengan kriteria yang kita inginkan.
Banyak biro jodoh yang bertebaran di program televisi maupun majalah, namun amat disayangkan banyak maksiyat yang terjadi selama proses di dalamnya. Maka perlu kehati-hatian, sebab menjalin ikatan suci diperlukan niat dan proses yang selamat dari maksiyat. Dasar yang bagus insya Allah akan menentukan kokoh atau tidaknya bangunan yang akan kita bina.
Nah, dari kelima cara itu kita bisa pilih salah satu untuk menemukan jodoh sejati kita, insya Allah. Tidak ada alternatif pacaran di sana. Mari menanam keyakinan bahwa Allah akan memberikan yang terbaik buat hamba-Nya yang senantiasa berikhtiar dan berdo’a. Yang memurnikan ketaatan kepada-Nya.

Padangsidimpuan
“Dalam rangka saling mengingatkan”
               


Senin, 29 Oktober 2012

Dunia Perempuan



MERENDA UJUNG PENANTIAN KITA

Galau. Risau. Atau khawatir. Itulah perasaan yang melanda sebagian besar perempuan yang sedang menanti siapakah gerangan yang akan mengajaknya mengarungi samudera bernama rumah tangga. Kebahagian plus tanda tanya ‘kapan ya giliranku?’ akan hadir tatkala mendengar sebuah pernikahan dilangsungkan. Suatu kenormalan bila demikian. Semoga tidak berlarut-larut hingga berujung pada frustasi.
Pernikahan adalah salah satu tanda kekuasaan Allah. Laiknya tanda-tanda seperti siang bersanding malam, langit dan bumi, baik dan buruk, hidup dan mati. Kecenderungan di antara keduanya adalah bukti Maha Kuasa Allah. Laki-laki merasa tenteram bila ada perempuan di sisinya, dan demikian pula dengan perempuan akan merasa terlindungi bila laki-laki ada di dekatnya.
“Dan diantara tanda-tanda keukasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi yang beriman.” (Ar-Rum: 21).  
Allah, yang menitipkan perasaan-perasaan itu. Tak bisa seorangpun mengingkari fitrahnya itu. Kalaupun ada pernikahan sesama jenis, sebenarnya mereka hanya membohongi orang-orang bahwa pernikahan yang mereka jalani baik-baik saja, padahal hati nurani mereka mengingkari apa yang mereka lakukan.
Segala kondisi yang ditetapkan Allah semoga tetap menjadi kesyukuran pada-Nya. Cepat atau lambat adalah kehendak-Nya. Dan segala kehendak yang ditetapkan-Nya  tidak ada yang sia-sia. “Robbana ma kholaqta haza batiila”  Kita hanya bisa berikhtiar secepatnya melaksanakan pernikahan, sunnah Rasul. Namun yang menentukan tetaplah Allah azza wajalla.
Kalau boleh saya mengatakan, pernikahan penuh rahasia. Yah, penuh keunikan. Betapa banyak orang yang merencanakan bulan sekian menikah, ternyata melesat. Bertahun-tahun menjalin komunikasi atau istilah familiarnya ‘pacaran’ berharap ‘si dia’ yang menjadi teman hidup, ternyata menikah dengan orang yang sama sekali tidak dikenal. Teman sewaktu kecil sering bertengkar, eh ternyata berujung pada pernikahan.  Teman ngobrol di bus, cuma sebentar saja, ternyata berujung pada pernikahan. Bahkan tidak jarang sesama tetangga jodohan.
Allahu Akbar! Ternyata selain meyakini akan Kemaha Kuasaan-Nya, kita juga dituntut untuk meyakini akan qodho dan takdir-Nya. Bukan berarti kita melepas usaha untuk menjemput rizki dan jodoh. Sampai nafas terhenti; usaha, do’a dan tawakal tetaplah menjadi prinsip sebagai seorang muslim dalam menajalani lika-liku kehidupan. Tentunya usaha yang dilakukan tidak mendatangkan kemurkaan-Nya seperti mendatangi dukun agar dimudahkan dalam pencarian, melakukan ramalan zodiak, ataupun pacaran.
Suatu kekeliruan bila kita memandang pernikahan itu kesenangan melulu. Pernikahan arena perjuangan.  Di dalamnya banyak duri yang siap menghujam ulu hati. Perlu kesiapan iman dan psikis untuk menghadapinya. Tidak hanya menyiapkan lahiriah semata. Rasulullah bersabda,
“Wahai para pemuda, barangsiapa yang memiliki ba’ah (keinginan untuk menikah), maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu maka berpuasalah, karena puasa itu perisai baginya” (HR. Bukhori No5065 dan Muslim No. 1400)
Jika belum mampu untuk menikah maka berpuasalah, karena puasa dapat menjadi perisai, pengendali diri.  Ada satu penekakan yang perlu kita garis bawahi yaitu mampu. Mampu memang adalah hal yang relatif. Tapi setidaknya kita punya timbangan langit untuk mengukurnya, bukan timbangan bumi – adat, pandangan manusia, maupun materi. Mempertimbangkan apakah iman dan takwa kita sudah layak dijadikan pondasi dalam membangun rumah tangga peradaban. Bukankah dasar yang rusak akan menghasilkan kerusakan juga?
Semoga waktu yang ada saat ini mengajari kita bagaimana mensyukuri setiap keadaan. Penuhi hati agar tetap husnuuzhon terhadap-Nya. Mungkin Allah belum memberi giliran, karena untuk menguji sejauh mana kesabaran kita, memberi kesempatan kepada kita untuk mempersiapkan diri, atau bisa jadi Allah belum memberi kesempatan itu di dunia dan hendak memberikan pasangan kita seorang ‘manusia akhirat’ kelak.
Pernikahan Proses Membangun Rumah Tangga Peradaban
Rumah tangga adalah miniatur kecil dari suatu negara. Dari sebuah keluargalah terbentuk berbagai manusia dengan berbagai karakternya. Perannya dipastikan menentukan eksisnya peradaban suatu negara. Membangun peradaban suatu negara tidaklah mudah seperti mengayuh sepeda. Demikian pula dengan rumah tangga peradaban tidaklah mudah untuk membangunnya, akan tetapi keberhasilan terdapat di dalamnya jika ada azzam yang kuat untuk mewujudkannya. Bukan kebaikan namanya jika tidak ada keburukan yang mengiringinya. Bukan perubahan namanya jika tidak ada godaan dan ujian yang menyelinginya. Ada panduan yang telah disediakan Allah dan Rasul-Nya. Tinggal bagaimana kita menjalaninya.
Bangunan rumah tangga peradaban telah dicontohkan manusia agung, Muhammad SAW. Ada kasih sayang karena-Nya yang terbangun di dalamnya, ada kelembutan, ketulusan, tanggung jawab, hari-hari dipenuhi dengan ibadah di dalamnya, itsar (mendahulukan kepentingan orang lain) terbangun sempurna, juga tarbiyah – pendidikan yang tidak mengenal waktu, berproses di sana.
Di sanalah para istri beliau berada, dengan kelebihan-kelebihan amalan sunnah yang diajarkan Rasul. Khadijah yang dikenal dengan kedermawanan dan keikhlasannya mendukung dakwah nabi, lalu surga pun merindukannya. Aisyah dikenal dengan Ummul Mukminin karena ketekunannya menyerap ajaran Rasul. Zainab binti Khuzaimah yang mudah mengulur tangannya membantu para fakir miskin hingga ia digelar dengan Ummul Masakin. Lalu anak-anak beliau yang juga punya kepribadian mulia. Hingga kita pantas mencemburui kebajikan dan keberanian Fatimah yang menghibur dan membela Rasul saat para kafir Quroisy menganiayanya. Ia dengan kedua tangannya membalut luka-luka itu. Ummu Kaltsum dan Ruqoyyah yang sabar dicerai dari kedua putra Abu Lahab dan mereka merelakan diri untuk bersakit-sakitan saat hijrah asal kalimat tauhid tetap di hati.
Rumah tangga peradaban, rumah tangga yang dibangun atas ketaatan pada-Nya. Rumah yang membagi kebahagiaan dan kebaikan yang mereka miliki kepada orang-orang yang berada di sekitar mereka. Kepribadian mulia lahir dari sana. Tidak hanya solih secara pribadi tapi juga solih secara sosial. Dengan kata lain, orang lain turut serta bersamanya meniti jalan kebaikan.
Kita perempuan, mulailah menanam harapan kepada-Nya agar diberikan seorang imam yang memiliki iman yang teguh lagi benar. Tidak usah muluk-muluk. Sebab, tiada bekal yang hakiki selain iman yang teguh dalam mengharungi jalan rumah tangga agar selamat dunia hatta akhirat. Imannya bisa menjadikan ia imam buat kita dan keluarga. Dan, kekonsistenannya menjalankan visi dan misi keluarga yang dipenuhi dengan ketundukan kepada-Nya.
Mungkin akan terlontar pertanyaan, mungkinkah mendapatkan seorang qowwam sejati seperti itu, apalagi usia sudah mematut di jendela-jendela tiga puluh, empat puluh, bahkan lima puluh?  
Tetaplah menatap Kemaha Rohiman-Nya,  kasih-Nya tiada semu.  Tiada do’a yang tidak diijabah Allah kecuali akan Allah persiapkan ‘anugrah’ terindah buat kita. Semoga ikhtiar dan do’a terus menghiasi diri kita. Mari menyeka bulir-bulir air yang menurun dari kedua mata. Mari menghembus debu-debu yeng menutupi hati agar tidak tersesak. Semoga kita tetap istiqomah dan diberikan kesabaran dalam penantian ini.  Tetaplah menjaga hati hanya untuk-Nya dan kalaupun mencintai hamba-Nya tiada lain Karena Allah. Sebab menjaga hati tidaklah semudah menjaga ternak sebara. Ternak dihalau pada saat-saat tertentu, sedang hati mesti siaga (Al-khizru) tiap waktu agar tidak terjerumus godaan syaithon. Umar berkata, “Waspada adalah bagian dari takwa”
Dalam penantian ini, ada kesempatan yang diberikan Allah untuk mempersiapkan bekal, memperbaiki diri agar kuat membangun rumah tangga peradaban. Karena tidak mungkin kita hanya mengharapkan seorang qowwam sejati sedangkan kita tidak memiliki bekal yang lumayan. Suatu hal yang tidak tahu diri namanya, bila kita hanya mengharap yang baik saja sedangkan kita tidak berupaya untuk memenuhinya.
Padangsidimpuan; dalam rangka memperbaiki diri




Dunia Perempuan