Minggu, 30 Desember 2012
Kamis, 15 November 2012
DUNIA PEREMPUAN; SEJATINYA PILIHAN
SEJATINYA PILIHAN
“Dijodohkan
atau memilih sendiri?” tanya akhwat berkerudung ungu.
“Saya
milih dijodohkan saja. Lebih aman” jawab akhwat berkerudung hijau.
“Hm...begitukah?”
“Ya..kalau
dijodohkan lebih aman dari penyakit hati. Kalau mencari sendiri khawatir kurang
ahsan ...”
Cxcxcx...
#####
Imajinatif.
Kita sering membayangkan juga mengimpikan mendapatkan seseorang yang bisa
menemani – lebih tepatnya membimbing – kita dalam membina rumah tangga kelak.
Maunya si dia adalah orang yang pengertian, bertanggung jawab, humoris, cerdas,
penyayang, oh ya satu yang terpenting “kepribadiannya solih”. Bahasa idelanya,
seorang imam yang bisa menyelamatkan kita dan keluarganya selamat di dunia dan
akhirat. Wuih...
Hal
yang manusiawi jika demikian. Apapun kriteria yang kita inginkan hendaknya
memiliki standar. Jika yang lain tidak terpenuhi tetapi yang satu ini tidak
boleh terlewatkan; iman yang mengukuh di jiwanya. Tak masalah dapat yang pendek
asal pribadinya solih. Tak masalah dapat
suku di luar Batak (Hehe..tidak bermaksud
‘menarsiskan’ suku Batak lho...)asal iman yang kokoh masih di hati, hingga
ia bisa jadi penengah diantara perbedaan.Tak masalah yang datang meminang tidak
satu profesi asal agamanya bagus. Trus, bagaimana kita mendapatkan mereka?
Ada
lima cara yang bisa kita pilih untuk mendapatkan jodoh sejati, insya Allah.
Bukan ala pacaran yang tersaji dimana-mana, di lingkungan rumah, sekolah, kampus,
pasar, kantor, tempat rekreasi, di sawah (ada gak ya? hehehe...). Plus gak
mengenal waktu, mau pagi, siang, sore, malam bisa ditemukan (sengaja atau tidak
sengaja bisa ketemu lho...)
Cara
pertama, mengusulkan kepada orangtua. Dalam sejarah cara ini pernah
ditempuh oleh putri Nabi Syu’aib as.
Dua putri nabi
Syu’aib terhambat untuk memberi minum domba gembalaannya dari sebuah telaga
karena telah dipenuhi oleh laki-laki yang juga mengambil air untuk ternak mereka,
sedang keduanya adalah perempuan yang menjaga kehormatan dengan menghindari
campur baur tersebut. Melihat mereka yang masih berdiri, Musa as datang memberi
petolongan.
Putri nabi
Syu’aib mendapati kesan bahwa pribadi Musa as adalah pribadi yang terpuji. Salah
satu putri Nabi Syu’aib mengusulkan kepada ayahnya agar nabi Musa bekerja
dengan mereka. Nabi Syu’aib mengetahui apa yang tersembunyi dalam perasaan putrinya,
sehingga ia menawarkan kepada Musa untuk bekerja selama delapan tahun dengan
imbalan menikahi salah satu putrinya. Dan Musa menyetujui perjanjian itu. Kisah
ini diabadikan dalam Al-Qur’an Suroh Al-Qhosos ayat 26-28.
Tidak
ada yang tercela dari cara ini. Sebab seorang anak memang mempunyai hak untuk
mengajukan siapa calon idamannya tanpa mengesampingkan peran orangtuanya. Tanpa
melepaskan tanggung jawab orangtua untuk menyelidiki kualitas pribadi calon
suami atau istri yang diajukan oleh anaknya. Dalam mengajukan pilihannya,
seorang anak harus memiliki kesamaan pedoman agar tidak terjadi perselisihan. Ketika
orangtua dan anak mendapati kesamaan kriteria yang sesuai syariat – agamanya
bagus – maka orangtua tidak boleh mempersulit keinginan anaknya untuk menikah.
Cara
yang kedua, memilih sendiri atau menunggu pinangan.
Ingat
kisah Rumaisha binti Milhan, seorang perempuan yang menukar hati dan cintanya
dengan Islam sebagai maharnya ketika Tholhah datang meminangnya? Nah,
shohabiyah yang satu ini adalah kisah yang bertutur bahwa ia memilih sendiri
Tholhah sebagai suaminya dengan syarat Tholhah masuk Islam.
Lain
lagi dengan Abdurrahman ibn Auf. Ia yang memilih sendiri istrinya, tidak
dijodohkan atau dicarikan orang lain. Ia berkata kepada Ummu Hakim binti Qarizh,
“Maukah kamu menyerahkan urusanmu kepadaku?”
Ummu
Hakim binti Qarizh menjawab, “Baiklah,”
Ia
berkata, “Kalau begitu, kamu saya nikahi”
“Rasulullah
Saw melihat pada Abdurrahman ibn Auf ada bekas warna kekuning-kuningan. Lalu
beliau bertanya, ‘Apa ini?’ Dia
menjawab, ‘Sesungguhnya aku telah menikahi seorang wanita dengan mahar emas
sebesar biji kurma’. Maka Rasulullah bersabda, ‘Semoga Allah memberkahimu.
Adakan walimahan walau dengan seekor kambing”
Rasulullah
diberitahu sesudah pernikahannya berlangsung. Rasulullah Saw dan sahabat tidak
mencelanya.
Perempuan yang
ingin menikah boleh berlaku pasif untuk mendapatkan jodohnya. Menanti pinangan
lelaki yang bermaksud datang meminangnya. Seorang perempuan yang menanti
pinangan tetaplah bersabar menjaga ketentuan agama tentang laki-laki baik yang kelak akan menjadi suaminya.
Tidak usah
tergesa. Istikhoroh, minta petunjuk dari Yang Maha Pemberi Petunjuk. Selidiki
bagaimana agama dan akhlaknya. Tiada lain agar kita, perempuan, tidak terzolimi
dalam membina rumah tangga. Sebab, dari pernikahan kita mengharapkan kebaikan
dan keberkahan, bukan sebaliknya.
Cara yang
ketiga, menerima pilihan dari orangtua.
Dalam sebuah
riwayat yang sudah masyhur dalam kitab-kitab munakahat, disebutkan dari Aisyah telah
datang seseorang perempuan mengadu kepada Rasulullah, ia berkata,
“Ya
Rasulullah, ayah saya telah menikahkan saya dengan keponakannya agar dapat
meringankan beban dirinya. Maka beliau menyerahkan urusan ini kepadanya. Lalu
perempuan itu berkata, ‘saya benarkan apa yang telah dilakukan ayah saya, tetapi
saya ingin agar para perempuan tahu bahwa para bapak tidak berhak sedikitpun
dalam urusan ini.”(HR. Ahmad)
Hadis di atas
berkisah seorang perempuan yang dinikahkan ayahnya, lalu ia mengadu kepada
Rasulullah. Dan Rasulullah menyerahkan urusan itu kepadanya, artinya menyerahkan
pilihan apakah menerima atau menolak. Perempuan itu membenarkan apa yang telah
dilakukan ayahnya, menerima lelaki pilihan ayahnya menjadi suaminya. Akan
tetapi ia memberi sebuah nasihat penting kepada para perempuan bahwa para bapak
tidak berhak memaksakan kehendaknya.
Islam
membenarkan cara mendapatkan jodoh dengan menerima tawaran dari orangtua. Tidak
ada yang salah di dalamnya selama kriteria dan syarat yang sesuai syari’at ada
pada lelaki yang ditawarkan orangtua. Daripada menanti kedatangan yang tidak
pasti hingga waktu berumah tangga hampir senja. Namun, jika kriteria yang
sangat pokok tidak ada padanya – agamanya yang diragukan – kita boleh
memberikan hak penolakan.
Cara yang
keempat, menerima tawaran dari saudara sesama muslim.
Cara ini sering
dilakukan pada masa Rasulullah dan sahabat. Menerima tawaran dari saudara
seiman bukanlah hal yang tercela apalagi menghinakan. Bahkan ini menunjukkan
adanya solidaritas sesama saudara seiman, merasa bertanggung jawab untuk
menolong orang yang sudah mampu dan berkeinginan kuat untuk menikah namun belum
bertemu pasangannya. Langkah ini boleh dilakukan dengan persetujuan dari orang
yang ditawarkan maupun tanpa sepengetahuannya. Bila tanpa sepengetahuan orang
yang ditawarkan maka ia mempunyai hak untuk menerima atau menolak
Dalam sebuah kisah,
Usman menawarkan seorang gadis kepada Abdullah ibn Mas’ud. Karena Abdullah ibn
Mas’ud tidak memiliki keinginan kepada gadis tersebut, maka Usman memanggil
Alqomah dan menawarkannya kepada Alqomah.
Ketika kita
ditawarkan akan seorang laki-laki, hendaknya disambut dengan baik. Akan tetapi
dengan tidak menafikan penyelidikan atas agama dan akhlaknya. Karena
bagaimanapun baiknya orang yang menawarkan, kita masih punya tanggung jawab
melihat kualitas pribadi orang yang ditawarkan.
Cara
kelima, meminta dicarikan.
Jika sudah
menanti, namun yang dinanti tak kunjung datang, tak ada salahnya untuk meminta
jasa orang lain yang dapat dipercaya (tsiqoh) mencarikan jodoh buat kita. Bisa
saja guru mengaji, saudara atau teman. Tidak perlu malu ataupun sungkan, karena
para sahabat saja banyak yang meminta dicarikan oleh Rasulullah jodohnya. Salah
satu contohnya Ukaf Wida’ah Al-Hilali.
Ini tidaklah tercela. Namun, lagi-lagi yang
perlu diperhatikan adalah pihak ketiga adalah orang cerdas, teliti dan tsiqoh
untuk mencarikan orang yang sesuai dengan kriteria yang kita inginkan.
Banyak biro
jodoh yang bertebaran di program televisi maupun majalah, namun amat
disayangkan banyak maksiyat yang terjadi selama proses di dalamnya. Maka perlu
kehati-hatian, sebab menjalin ikatan suci diperlukan niat dan proses yang
selamat dari maksiyat. Dasar yang bagus insya Allah akan menentukan kokoh atau
tidaknya bangunan yang akan kita bina.
Nah, dari kelima
cara itu kita bisa pilih salah satu untuk menemukan jodoh sejati kita, insya
Allah. Tidak ada alternatif pacaran di sana. Mari menanam keyakinan bahwa Allah
akan memberikan yang terbaik buat hamba-Nya yang senantiasa berikhtiar dan
berdo’a. Yang memurnikan ketaatan kepada-Nya.
Padangsidimpuan
“Dalam rangka saling mengingatkan”
Senin, 29 Oktober 2012
Dunia Perempuan
MERENDA UJUNG PENANTIAN KITA
Galau. Risau.
Atau khawatir. Itulah perasaan yang melanda sebagian besar perempuan yang
sedang menanti siapakah gerangan yang akan mengajaknya mengarungi samudera
bernama rumah tangga. Kebahagian plus tanda tanya ‘kapan ya giliranku?’ akan
hadir tatkala mendengar sebuah pernikahan dilangsungkan. Suatu kenormalan bila
demikian. Semoga tidak berlarut-larut hingga berujung pada frustasi.
Pernikahan adalah salah satu tanda
kekuasaan Allah. Laiknya tanda-tanda seperti siang bersanding malam, langit dan
bumi, baik dan buruk, hidup dan mati. Kecenderungan di antara keduanya adalah
bukti Maha Kuasa Allah. Laki-laki merasa tenteram bila ada perempuan di
sisinya, dan demikian pula dengan perempuan akan merasa terlindungi bila
laki-laki ada di dekatnya.
“Dan diantara tanda-tanda
keukasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi yang beriman.” (Ar-Rum: 21).
Allah, yang menitipkan
perasaan-perasaan itu. Tak bisa seorangpun mengingkari fitrahnya itu. Kalaupun
ada pernikahan sesama jenis, sebenarnya mereka hanya membohongi orang-orang
bahwa pernikahan yang mereka jalani baik-baik saja, padahal hati nurani mereka
mengingkari apa yang mereka lakukan.
Segala kondisi yang ditetapkan
Allah semoga tetap menjadi kesyukuran pada-Nya. Cepat atau lambat adalah
kehendak-Nya. Dan segala kehendak yang ditetapkan-Nya tidak ada yang sia-sia. “Robbana ma
kholaqta haza batiila” Kita hanya
bisa berikhtiar secepatnya melaksanakan pernikahan, sunnah Rasul. Namun yang
menentukan tetaplah Allah azza wajalla.
Kalau boleh saya mengatakan,
pernikahan penuh rahasia. Yah, penuh keunikan. Betapa banyak orang yang
merencanakan bulan sekian menikah, ternyata melesat. Bertahun-tahun menjalin
komunikasi atau istilah familiarnya ‘pacaran’ berharap ‘si dia’ yang menjadi
teman hidup, ternyata menikah dengan orang yang sama sekali tidak dikenal.
Teman sewaktu kecil sering bertengkar, eh ternyata berujung pada
pernikahan. Teman ngobrol di bus, cuma
sebentar saja, ternyata berujung pada pernikahan. Bahkan tidak jarang sesama
tetangga jodohan.
Allahu Akbar! Ternyata selain
meyakini akan Kemaha Kuasaan-Nya, kita juga dituntut untuk meyakini akan qodho
dan takdir-Nya. Bukan berarti kita melepas usaha untuk menjemput rizki dan
jodoh. Sampai nafas terhenti; usaha, do’a dan tawakal tetaplah menjadi prinsip
sebagai seorang muslim dalam menajalani lika-liku kehidupan. Tentunya usaha
yang dilakukan tidak mendatangkan kemurkaan-Nya seperti mendatangi dukun agar
dimudahkan dalam pencarian, melakukan ramalan zodiak, ataupun pacaran.
Suatu kekeliruan bila kita
memandang pernikahan itu kesenangan melulu. Pernikahan arena perjuangan. Di dalamnya banyak duri yang siap menghujam
ulu hati. Perlu kesiapan iman dan psikis untuk menghadapinya. Tidak hanya
menyiapkan lahiriah semata. Rasulullah bersabda,
“Wahai para pemuda, barangsiapa
yang memiliki ba’ah (keinginan untuk menikah), maka menikahlah. Karena itu
lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang
belum mampu maka berpuasalah, karena puasa itu perisai baginya” (HR. Bukhori
No5065 dan Muslim No. 1400)
Jika belum mampu untuk menikah maka
berpuasalah, karena puasa dapat menjadi perisai, pengendali diri. Ada satu penekakan yang perlu kita garis
bawahi yaitu mampu. Mampu memang adalah hal yang relatif. Tapi setidaknya kita
punya timbangan langit untuk mengukurnya, bukan timbangan bumi – adat,
pandangan manusia, maupun materi. Mempertimbangkan apakah iman dan takwa kita
sudah layak dijadikan pondasi dalam membangun rumah tangga peradaban. Bukankah
dasar yang rusak akan menghasilkan kerusakan juga?
Semoga waktu yang ada saat ini
mengajari kita bagaimana mensyukuri setiap keadaan. Penuhi hati agar tetap
husnuuzhon terhadap-Nya. Mungkin Allah belum memberi giliran, karena untuk
menguji sejauh mana kesabaran kita, memberi kesempatan kepada kita untuk
mempersiapkan diri, atau bisa jadi Allah belum memberi kesempatan itu di dunia
dan hendak memberikan pasangan kita seorang ‘manusia akhirat’ kelak.
Pernikahan Proses Membangun
Rumah Tangga Peradaban
Rumah tangga adalah miniatur kecil
dari suatu negara. Dari sebuah keluargalah terbentuk berbagai manusia dengan
berbagai karakternya. Perannya dipastikan menentukan eksisnya peradaban suatu
negara. Membangun peradaban suatu negara tidaklah mudah seperti mengayuh
sepeda. Demikian pula dengan rumah tangga peradaban tidaklah mudah untuk
membangunnya, akan tetapi keberhasilan terdapat di dalamnya jika ada azzam yang
kuat untuk mewujudkannya. Bukan kebaikan namanya jika tidak ada keburukan yang
mengiringinya. Bukan perubahan namanya jika tidak ada godaan dan ujian yang
menyelinginya. Ada panduan yang telah disediakan Allah dan Rasul-Nya. Tinggal
bagaimana kita menjalaninya.
Bangunan rumah tangga peradaban
telah dicontohkan manusia agung, Muhammad SAW. Ada kasih sayang karena-Nya yang
terbangun di dalamnya, ada kelembutan, ketulusan, tanggung jawab, hari-hari
dipenuhi dengan ibadah di dalamnya, itsar (mendahulukan kepentingan orang lain)
terbangun sempurna, juga tarbiyah – pendidikan yang tidak mengenal waktu,
berproses di sana.
Di sanalah para istri beliau
berada, dengan kelebihan-kelebihan amalan sunnah yang diajarkan Rasul. Khadijah
yang dikenal dengan kedermawanan dan keikhlasannya mendukung dakwah nabi, lalu
surga pun merindukannya. Aisyah dikenal dengan Ummul Mukminin karena
ketekunannya menyerap ajaran Rasul. Zainab binti Khuzaimah yang mudah mengulur
tangannya membantu para fakir miskin hingga ia digelar dengan Ummul Masakin.
Lalu anak-anak beliau yang juga punya kepribadian mulia. Hingga kita pantas
mencemburui kebajikan dan keberanian Fatimah yang menghibur dan membela Rasul
saat para kafir Quroisy menganiayanya. Ia dengan kedua tangannya membalut
luka-luka itu. Ummu Kaltsum dan Ruqoyyah yang sabar dicerai dari kedua putra
Abu Lahab dan mereka merelakan diri untuk bersakit-sakitan saat hijrah asal
kalimat tauhid tetap di hati.
Rumah tangga peradaban, rumah
tangga yang dibangun atas ketaatan pada-Nya. Rumah yang membagi kebahagiaan dan
kebaikan yang mereka miliki kepada orang-orang yang berada di sekitar mereka.
Kepribadian mulia lahir dari sana. Tidak hanya solih secara pribadi tapi juga
solih secara sosial. Dengan kata lain, orang lain turut serta bersamanya meniti
jalan kebaikan.
Kita perempuan, mulailah menanam
harapan kepada-Nya agar diberikan seorang imam yang memiliki iman yang teguh
lagi benar. Tidak usah muluk-muluk. Sebab, tiada bekal yang hakiki selain iman
yang teguh dalam mengharungi jalan rumah tangga agar selamat dunia hatta
akhirat. Imannya bisa menjadikan ia imam buat kita dan keluarga. Dan,
kekonsistenannya menjalankan visi dan misi keluarga yang dipenuhi dengan
ketundukan kepada-Nya.
Mungkin akan terlontar pertanyaan,
mungkinkah mendapatkan seorang qowwam sejati seperti itu, apalagi usia sudah
mematut di jendela-jendela tiga puluh, empat puluh, bahkan lima puluh?
Tetaplah menatap Kemaha Rohiman-Nya, kasih-Nya tiada semu. Tiada do’a yang tidak diijabah Allah kecuali
akan Allah persiapkan ‘anugrah’ terindah buat kita. Semoga ikhtiar dan do’a
terus menghiasi diri kita. Mari menyeka bulir-bulir air yang menurun dari kedua
mata. Mari menghembus debu-debu yeng menutupi hati agar tidak tersesak. Semoga
kita tetap istiqomah dan diberikan kesabaran dalam penantian ini. Tetaplah menjaga hati hanya untuk-Nya dan
kalaupun mencintai hamba-Nya tiada lain Karena Allah. Sebab menjaga hati
tidaklah semudah menjaga ternak sebara. Ternak dihalau pada saat-saat tertentu,
sedang hati mesti siaga (Al-khizru) tiap waktu agar tidak terjerumus godaan syaithon.
Umar berkata, “Waspada adalah bagian dari takwa”
Dalam penantian ini, ada kesempatan
yang diberikan Allah untuk mempersiapkan bekal, memperbaiki diri agar kuat
membangun rumah tangga peradaban. Karena tidak mungkin kita hanya mengharapkan
seorang qowwam sejati sedangkan kita tidak memiliki bekal yang lumayan. Suatu
hal yang tidak tahu diri namanya, bila kita hanya mengharap yang baik saja sedangkan
kita tidak berupaya untuk memenuhinya.
Padangsidimpuan; dalam rangka memperbaiki diri
Lokasi:
Padang Sidempuan, Indonesia
Langganan:
Postingan (Atom)