MERENDA UJUNG PENANTIAN KITA
Galau. Risau.
Atau khawatir. Itulah perasaan yang melanda sebagian besar perempuan yang
sedang menanti siapakah gerangan yang akan mengajaknya mengarungi samudera
bernama rumah tangga. Kebahagian plus tanda tanya ‘kapan ya giliranku?’ akan
hadir tatkala mendengar sebuah pernikahan dilangsungkan. Suatu kenormalan bila
demikian. Semoga tidak berlarut-larut hingga berujung pada frustasi.
Pernikahan adalah salah satu tanda
kekuasaan Allah. Laiknya tanda-tanda seperti siang bersanding malam, langit dan
bumi, baik dan buruk, hidup dan mati. Kecenderungan di antara keduanya adalah
bukti Maha Kuasa Allah. Laki-laki merasa tenteram bila ada perempuan di
sisinya, dan demikian pula dengan perempuan akan merasa terlindungi bila
laki-laki ada di dekatnya.
“Dan diantara tanda-tanda
keukasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi yang beriman.” (Ar-Rum: 21).
Allah, yang menitipkan
perasaan-perasaan itu. Tak bisa seorangpun mengingkari fitrahnya itu. Kalaupun
ada pernikahan sesama jenis, sebenarnya mereka hanya membohongi orang-orang
bahwa pernikahan yang mereka jalani baik-baik saja, padahal hati nurani mereka
mengingkari apa yang mereka lakukan.
Segala kondisi yang ditetapkan
Allah semoga tetap menjadi kesyukuran pada-Nya. Cepat atau lambat adalah
kehendak-Nya. Dan segala kehendak yang ditetapkan-Nya tidak ada yang sia-sia. “Robbana ma
kholaqta haza batiila” Kita hanya
bisa berikhtiar secepatnya melaksanakan pernikahan, sunnah Rasul. Namun yang
menentukan tetaplah Allah azza wajalla.
Kalau boleh saya mengatakan,
pernikahan penuh rahasia. Yah, penuh keunikan. Betapa banyak orang yang
merencanakan bulan sekian menikah, ternyata melesat. Bertahun-tahun menjalin
komunikasi atau istilah familiarnya ‘pacaran’ berharap ‘si dia’ yang menjadi
teman hidup, ternyata menikah dengan orang yang sama sekali tidak dikenal.
Teman sewaktu kecil sering bertengkar, eh ternyata berujung pada
pernikahan. Teman ngobrol di bus, cuma
sebentar saja, ternyata berujung pada pernikahan. Bahkan tidak jarang sesama
tetangga jodohan.
Allahu Akbar! Ternyata selain
meyakini akan Kemaha Kuasaan-Nya, kita juga dituntut untuk meyakini akan qodho
dan takdir-Nya. Bukan berarti kita melepas usaha untuk menjemput rizki dan
jodoh. Sampai nafas terhenti; usaha, do’a dan tawakal tetaplah menjadi prinsip
sebagai seorang muslim dalam menajalani lika-liku kehidupan. Tentunya usaha
yang dilakukan tidak mendatangkan kemurkaan-Nya seperti mendatangi dukun agar
dimudahkan dalam pencarian, melakukan ramalan zodiak, ataupun pacaran.
Suatu kekeliruan bila kita
memandang pernikahan itu kesenangan melulu. Pernikahan arena perjuangan. Di dalamnya banyak duri yang siap menghujam
ulu hati. Perlu kesiapan iman dan psikis untuk menghadapinya. Tidak hanya
menyiapkan lahiriah semata. Rasulullah bersabda,
“Wahai para pemuda, barangsiapa
yang memiliki ba’ah (keinginan untuk menikah), maka menikahlah. Karena itu
lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang
belum mampu maka berpuasalah, karena puasa itu perisai baginya” (HR. Bukhori
No5065 dan Muslim No. 1400)
Jika belum mampu untuk menikah maka
berpuasalah, karena puasa dapat menjadi perisai, pengendali diri. Ada satu penekakan yang perlu kita garis
bawahi yaitu mampu. Mampu memang adalah hal yang relatif. Tapi setidaknya kita
punya timbangan langit untuk mengukurnya, bukan timbangan bumi – adat,
pandangan manusia, maupun materi. Mempertimbangkan apakah iman dan takwa kita
sudah layak dijadikan pondasi dalam membangun rumah tangga peradaban. Bukankah
dasar yang rusak akan menghasilkan kerusakan juga?
Semoga waktu yang ada saat ini
mengajari kita bagaimana mensyukuri setiap keadaan. Penuhi hati agar tetap
husnuuzhon terhadap-Nya. Mungkin Allah belum memberi giliran, karena untuk
menguji sejauh mana kesabaran kita, memberi kesempatan kepada kita untuk
mempersiapkan diri, atau bisa jadi Allah belum memberi kesempatan itu di dunia
dan hendak memberikan pasangan kita seorang ‘manusia akhirat’ kelak.
Pernikahan Proses Membangun
Rumah Tangga Peradaban
Rumah tangga adalah miniatur kecil
dari suatu negara. Dari sebuah keluargalah terbentuk berbagai manusia dengan
berbagai karakternya. Perannya dipastikan menentukan eksisnya peradaban suatu
negara. Membangun peradaban suatu negara tidaklah mudah seperti mengayuh
sepeda. Demikian pula dengan rumah tangga peradaban tidaklah mudah untuk
membangunnya, akan tetapi keberhasilan terdapat di dalamnya jika ada azzam yang
kuat untuk mewujudkannya. Bukan kebaikan namanya jika tidak ada keburukan yang
mengiringinya. Bukan perubahan namanya jika tidak ada godaan dan ujian yang
menyelinginya. Ada panduan yang telah disediakan Allah dan Rasul-Nya. Tinggal
bagaimana kita menjalaninya.
Bangunan rumah tangga peradaban
telah dicontohkan manusia agung, Muhammad SAW. Ada kasih sayang karena-Nya yang
terbangun di dalamnya, ada kelembutan, ketulusan, tanggung jawab, hari-hari
dipenuhi dengan ibadah di dalamnya, itsar (mendahulukan kepentingan orang lain)
terbangun sempurna, juga tarbiyah – pendidikan yang tidak mengenal waktu,
berproses di sana.
Di sanalah para istri beliau
berada, dengan kelebihan-kelebihan amalan sunnah yang diajarkan Rasul. Khadijah
yang dikenal dengan kedermawanan dan keikhlasannya mendukung dakwah nabi, lalu
surga pun merindukannya. Aisyah dikenal dengan Ummul Mukminin karena
ketekunannya menyerap ajaran Rasul. Zainab binti Khuzaimah yang mudah mengulur
tangannya membantu para fakir miskin hingga ia digelar dengan Ummul Masakin.
Lalu anak-anak beliau yang juga punya kepribadian mulia. Hingga kita pantas
mencemburui kebajikan dan keberanian Fatimah yang menghibur dan membela Rasul
saat para kafir Quroisy menganiayanya. Ia dengan kedua tangannya membalut
luka-luka itu. Ummu Kaltsum dan Ruqoyyah yang sabar dicerai dari kedua putra
Abu Lahab dan mereka merelakan diri untuk bersakit-sakitan saat hijrah asal
kalimat tauhid tetap di hati.
Rumah tangga peradaban, rumah
tangga yang dibangun atas ketaatan pada-Nya. Rumah yang membagi kebahagiaan dan
kebaikan yang mereka miliki kepada orang-orang yang berada di sekitar mereka.
Kepribadian mulia lahir dari sana. Tidak hanya solih secara pribadi tapi juga
solih secara sosial. Dengan kata lain, orang lain turut serta bersamanya meniti
jalan kebaikan.
Kita perempuan, mulailah menanam
harapan kepada-Nya agar diberikan seorang imam yang memiliki iman yang teguh
lagi benar. Tidak usah muluk-muluk. Sebab, tiada bekal yang hakiki selain iman
yang teguh dalam mengharungi jalan rumah tangga agar selamat dunia hatta
akhirat. Imannya bisa menjadikan ia imam buat kita dan keluarga. Dan,
kekonsistenannya menjalankan visi dan misi keluarga yang dipenuhi dengan
ketundukan kepada-Nya.
Mungkin akan terlontar pertanyaan,
mungkinkah mendapatkan seorang qowwam sejati seperti itu, apalagi usia sudah
mematut di jendela-jendela tiga puluh, empat puluh, bahkan lima puluh?
Tetaplah menatap Kemaha Rohiman-Nya, kasih-Nya tiada semu. Tiada do’a yang tidak diijabah Allah kecuali
akan Allah persiapkan ‘anugrah’ terindah buat kita. Semoga ikhtiar dan do’a
terus menghiasi diri kita. Mari menyeka bulir-bulir air yang menurun dari kedua
mata. Mari menghembus debu-debu yeng menutupi hati agar tidak tersesak. Semoga
kita tetap istiqomah dan diberikan kesabaran dalam penantian ini. Tetaplah menjaga hati hanya untuk-Nya dan
kalaupun mencintai hamba-Nya tiada lain Karena Allah. Sebab menjaga hati
tidaklah semudah menjaga ternak sebara. Ternak dihalau pada saat-saat tertentu,
sedang hati mesti siaga (Al-khizru) tiap waktu agar tidak terjerumus godaan syaithon.
Umar berkata, “Waspada adalah bagian dari takwa”
Dalam penantian ini, ada kesempatan
yang diberikan Allah untuk mempersiapkan bekal, memperbaiki diri agar kuat
membangun rumah tangga peradaban. Karena tidak mungkin kita hanya mengharapkan
seorang qowwam sejati sedangkan kita tidak memiliki bekal yang lumayan. Suatu
hal yang tidak tahu diri namanya, bila kita hanya mengharap yang baik saja sedangkan
kita tidak berupaya untuk memenuhinya.
Padangsidimpuan; dalam rangka memperbaiki diri